Rabu, 20 Oktober 2010

Aliran Dana dari Negeri Seberang

22 July 2009


22 July 2009


Setiap tahun, puluhan miliar rupiah dana hibah datang dari luar negeri bagi pengembangan agribisnis.

Perkembangan agribisnis nasional nyatanya mendapat perhatian dari beberapa negara asing. Sebut saja Jepang, Belanda, dan Australia, yang berduyun-duyun mengucurkan dana hibahnya ke Indonesia. Meski dengan cara, bentuk, target, nominal, dan waktu program berbeda, tetapi hasilnya banyak berdampak positif.

Langsung Petani

Kerajaan Belanda melalui Indonesia-Netherland Association (INA) membentuk program Horticulture Partnership Support Program (HPSP). Menurut M. Haryadi Setiawan, sang Manajer Program, HPSP memiliki tujuan mengembangkan kemitraan. Khususnya antara petani hortikultura dengan sektor swasta melalui bantuan inovasi teknologi dan akses jejaring.

“Berawal tahun 2004, ada permintaan dari pelaku bisnis di Indonesia untuk mendapatkan dukungan dalam bidang inovasi teknologi dan penguatan kemitraan. HPSP ada berdasarkan kebutuhan petani, bukan kami yang mengeset program,” jelas Haryadi.

Selain dari pihak kerajaan, sumber pendanaan HPSP disokong tiga lembaga lain. Seperti Agriterra, sebuah asosiasi petani di Belanda, yang bermisi membantu sesama petani dari negara berkembang. Lalu Cordaid, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada perbaikan sosial ekonomi petani kecil. Terakhir adalah Yayasan Rabobank.

Dalam periode 2005—2007 setidaknya ada 15 kemitraan yang telah dibantu. Perode 2008—2009, jumlahnya bertambah menjadi 17 kemitraan, tersebar di seluruh nusantara. Dijelaskan Haryadi, tiap periode, HPSP mengucurkan dana hingga Rp500 juta per kemitraan. “Tiap fase dana yang langsung diberikan pada kemitraan berkisar Rp7 miliar. Dari jumlah itu, Rp5 miliar dalam bentuk tunai yang diterima langsung oleh petani. Sisanya untuk bantuan teknis seperti mendatangkan tenaga ahli,“ paparnya.

Jadi, petani sayuran, buah, tanaman hias, dan tanaman obat, bisa mengajukan proposal bantuan ke HPSP untuk pengembangan bisnisnya. Andai lolos seleksi, dana akan dialirkan langsung ke petani. Selama proyek berlangsung, HPSP memberikan pendampingan dengan menerjunkan teknisi kompeten dari lokal.

Dalam program HPSP, memungkinkan didatangkan tenaga ahli asing. Misalnya dari lembaga pensiunan ahli dari berbagai sektor agribisnis di Belanda. “Para pensiunan itu mau jadi sukarelawan ke negara berkembang. Kita hubungkan sehingga petani bisa mengundang mereka. Transpor dan biaya konsultasi ditanggung HPSP, petani hanya menyediakan tempat tinggal dan komsumsi saja,“ papar Haryadi.

Program itu juga menawarkan jejaring bisnis, terutama untuk pasar ekspor Eropa. Salah satunya dengan CBI, suatu lembaga di Eropa yang mempromosikan impor produk dari negara berkembang. Seperti yang dirasakan kelompok Telapak di Bogor, mitra binaan HPSP yang mendapat akses ekspor kumis kucing ke Perancis.

Antarpemerintah

Selain Belanda, Jepang dan Australia juga mengucurkan bantuan dalam program berbeda. Negeri Matahari Terbit membentuk Japan International Coorporation Agency (JICA). Sedangkan Negeri Kanguru mendirikan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR).

Berbeda dengan HPSP, bantuan permodalan dari JICA dan ACIAR disalurkan dengan pola pemerintah ke pemerintah. Jadi, petani tidak bisa mengakses langsung dana tersebut.

Bantuan ACIAR lebih menekankan pada penerapan kebijakan serta penelitian dan pengembangan teknis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan. “Kami duduk bareng pemerintah Indonesia membahas persoalan yang dihadapi petani, dan yang bisa kami bantu,“ terang Mirah Nuryati, Stakeholder Relationship Manager ACIAR.

Meski mengaku baru fokus mengurusi proyek agribisnis beberapa tahun belakangan, menurut Mirah, bantuan ACIAR sudah berjalan sejak 1984. Program ini juga bergulir di beberapa negara Asia lain, seperti Vietnam, Filipina, China, dan India. Sejak 25 tahun silam sampai sekarang, sudah ada 184 proyek kerjasama yang rampung dikerjakan di Indonesia. Tahun ini masih berjalan 50 proyek lagi.

“Tujuan utama kami adalah membantu meningkatkan pendapatan terutama petani kecil. Kan lebih senang melihat tetangga yang makmur daripada yang kesulitan,“ tutur Mirah.

Setiap tahun ACIAR menggelontorkan dana hibah AUD$11 juta. Proyek ACIAR lebih banyak dilakukan di Indonesia Timur. Menurut Mirah, selain kesamaan topografi dan klimatologi, ekonomi wilayah itu juga masih dapat dibilang tertinggal. “Fokus kami ada di 6 provinsi, yaitu NTB, NTT, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Bali,“ bebernya.

Beberapa indikator kinerja ACIAR selama 2008—2009, antara lain pembangunan kembali pusat pengembangan perikanan air payau Ujung Batee Aceh yang hancur akibat tsunami. Selain itu, terbentuknya strategi litbang dalam peningkatan produktivitas dan daya saing industri buah tropis, pengembangan komoditas kentang di Sembalun, NTB, pengembangan sapi bali di NTB dan pengembangan kacang tanah di NTB bekerjasama dengan BPPT serta Garuda Food.

Selama menjalin kerjasama dengan pemerintah Indonesia, Mirah mengaku menghadapi beberapa kendala. Hal paling kentara adalah sistem administrasi di Indonesia yang kacau-balau, ditambah seringnya gonta-ganti personal kelembagaan. Selain itu, koordinasi lintas sektor di negeri ini juga mandek.

Banyak Manfaat

Di tempat terpisah, Makoto Yamane, Representative JICA untuk Indonesia mengatakan, peran JICA adalah memberikan bantuan teknis dan dana yang tidak mengikat. Tujuan utama program ini adalah membangun sumber daya manusia, memperkuat kelembagaan, membantu dalam kebijaksanaan pembangunan dan melakukan penelitian.

Selain hibah, JICA yang sudah ada di Indonesia sejak 1967 itu, juga menyediakan bantuan kredit lunak dan bantuan tenis. Periode 1967—2009, dana hibah yang disalurkan sebanyak 0,44 miliar Yen—23,4 miliar Yen. Sementara kredit lunak sebesar 11,3 miliar Yen—1.000 miliar Yen. “Tahun ini JICA dan Deptan akan bekerjasama dalam pengembangan budidaya mangga gedong gincu,” ungkap Makoto.

Selain itu, Jepang juga menyalurkan bantuan melalui program Counterpart Fund-Second Kennedy Round (CFSKR). Selain penguatan modal, CFSKR memberikan bantuan teknis untuk peningkatan produktivitas, mutu, dan daya saing terutama cabai, jagung, dan sapi. Tahun lalu program CFKSR berkembang di tiga provinsi, yaitu Jabar, Jateng, dan Sumut. Anggarannya mencapai Rp3,4 miliar.

Tahun ini bantuan CFSKR difokuskan untuk pengembangan benih bawang merah di tiga lokasi, NTB, Sulteng, dan Jatim. “Melalui program itu diharapkan tumbuh 30 kelompok penangkar benih bawang merah (600 petani). Sekaligus meningkatkan ketersediaan benih bermutu (bersertifikat) dari 7% menjadi 15%,” ucap Nana Laksana Ranu, Direktur Perbenihan dan Sarana Produksi, Ditjen Hortikultura.

Ahmad Dimyati, Dirjen Hortikultura, mengakui, bantuan asing telah ada sejak lama, bahkan sebelum Ditjen Hortikultura dibangun. Namun, menurutnya, nilai bantuan asing terbilang kecil, dibandingkan anggaran pengembangan hortikultura dari APBN. Meski begitu, lanjut dia, bantuan asing memberikan banyak nilai positif, seperti transfer inovasi teknologi.

Selamet R. Dadang WI, Peni SP, Enny PT, Tri Mardi, Yan S.

Setiap tahun, puluhan miliar rupiah dana hibah datang dari luar negeri bagi pengembangan agribisnis.

Perkembangan agribisnis nasional nyatanya mendapat perhatian dari beberapa negara asing. Sebut saja Jepang, Belanda, dan Australia, yang berduyun-duyun mengucurkan dana hibahnya ke Indonesia. Meski dengan cara, bentuk, target, nominal, dan waktu program berbeda, tetapi hasilnya banyak berdampak positif.

Langsung Petani

Kerajaan Belanda melalui Indonesia-Netherland Association (INA) membentuk program Horticulture Partnership Support Program (HPSP). Menurut M. Haryadi Setiawan, sang Manajer Program, HPSP memiliki tujuan mengembangkan kemitraan. Khususnya antara petani hortikultura dengan sektor swasta melalui bantuan inovasi teknologi dan akses jejaring.

“Berawal tahun 2004, ada permintaan dari pelaku bisnis di Indonesia untuk mendapatkan dukungan dalam bidang inovasi teknologi dan penguatan kemitraan. HPSP ada berdasarkan kebutuhan petani, bukan kami yang mengeset program,” jelas Haryadi.

Selain dari pihak kerajaan, sumber pendanaan HPSP disokong tiga lembaga lain. Seperti Agriterra, sebuah asosiasi petani di Belanda, yang bermisi membantu sesama petani dari negara berkembang. Lalu Cordaid, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada perbaikan sosial ekonomi petani kecil. Terakhir adalah Yayasan Rabobank.

Dalam periode 2005—2007 setidaknya ada 15 kemitraan yang telah dibantu. Perode 2008—2009, jumlahnya bertambah menjadi 17 kemitraan, tersebar di seluruh nusantara. Dijelaskan Haryadi, tiap periode, HPSP mengucurkan dana hingga Rp500 juta per kemitraan. “Tiap fase dana yang langsung diberikan pada kemitraan berkisar Rp7 miliar. Dari jumlah itu, Rp5 miliar dalam bentuk tunai yang diterima langsung oleh petani. Sisanya untuk bantuan teknis seperti mendatangkan tenaga ahli,“ paparnya.

Jadi, petani sayuran, buah, tanaman hias, dan tanaman obat, bisa mengajukan proposal bantuan ke HPSP untuk pengembangan bisnisnya. Andai lolos seleksi, dana akan dialirkan langsung ke petani. Selama proyek berlangsung, HPSP memberikan pendampingan dengan menerjunkan teknisi kompeten dari lokal.

Dalam program HPSP, memungkinkan didatangkan tenaga ahli asing. Misalnya dari lembaga pensiunan ahli dari berbagai sektor agribisnis di Belanda. “Para pensiunan itu mau jadi sukarelawan ke negara berkembang. Kita hubungkan sehingga petani bisa mengundang mereka. Transpor dan biaya konsultasi ditanggung HPSP, petani hanya menyediakan tempat tinggal dan komsumsi saja,“ papar Haryadi.

Program itu juga menawarkan jejaring bisnis, terutama untuk pasar ekspor Eropa. Salah satunya dengan CBI, suatu lembaga di Eropa yang mempromosikan impor produk dari negara berkembang. Seperti yang dirasakan kelompok Telapak di Bogor, mitra binaan HPSP yang mendapat akses ekspor kumis kucing ke Perancis.

Antarpemerintah

Selain Belanda, Jepang dan Australia juga mengucurkan bantuan dalam program berbeda. Negeri Matahari Terbit membentuk Japan International Coorporation Agency (JICA). Sedangkan Negeri Kanguru mendirikan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR).

Berbeda dengan HPSP, bantuan permodalan dari JICA dan ACIAR disalurkan dengan pola pemerintah ke pemerintah. Jadi, petani tidak bisa mengakses langsung dana tersebut.

Bantuan ACIAR lebih menekankan pada penerapan kebijakan serta penelitian dan pengembangan teknis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan. “Kami duduk bareng pemerintah Indonesia membahas persoalan yang dihadapi petani, dan yang bisa kami bantu,“ terang Mirah Nuryati, Stakeholder Relationship Manager ACIAR.

Meski mengaku baru fokus mengurusi proyek agribisnis beberapa tahun belakangan, menurut Mirah, bantuan ACIAR sudah berjalan sejak 1984. Program ini juga bergulir di beberapa negara Asia lain, seperti Vietnam, Filipina, China, dan India. Sejak 25 tahun silam sampai sekarang, sudah ada 184 proyek kerjasama yang rampung dikerjakan di Indonesia. Tahun ini masih berjalan 50 proyek lagi.

“Tujuan utama kami adalah membantu meningkatkan pendapatan terutama petani kecil. Kan lebih senang melihat tetangga yang makmur daripada yang kesulitan,“ tutur Mirah.

Setiap tahun ACIAR menggelontorkan dana hibah AUD$11 juta. Proyek ACIAR lebih banyak dilakukan di Indonesia Timur. Menurut Mirah, selain kesamaan topografi dan klimatologi, ekonomi wilayah itu juga masih dapat dibilang tertinggal. “Fokus kami ada di 6 provinsi, yaitu NTB, NTT, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Bali,“ bebernya.

Beberapa indikator kinerja ACIAR selama 2008—2009, antara lain pembangunan kembali pusat pengembangan perikanan air payau Ujung Batee Aceh yang hancur akibat tsunami. Selain itu, terbentuknya strategi litbang dalam peningkatan produktivitas dan daya saing industri buah tropis, pengembangan komoditas kentang di Sembalun, NTB, pengembangan sapi bali di NTB dan pengembangan kacang tanah di NTB bekerjasama dengan BPPT serta Garuda Food.

Selama menjalin kerjasama dengan pemerintah Indonesia, Mirah mengaku menghadapi beberapa kendala. Hal paling kentara adalah sistem administrasi di Indonesia yang kacau-balau, ditambah seringnya gonta-ganti personal kelembagaan. Selain itu, koordinasi lintas sektor di negeri ini juga mandek.

Banyak Manfaat

Di tempat terpisah, Makoto Yamane, Representative JICA untuk Indonesia mengatakan, peran JICA adalah memberikan bantuan teknis dan dana yang tidak mengikat. Tujuan utama program ini adalah membangun sumber daya manusia, memperkuat kelembagaan, membantu dalam kebijaksanaan pembangunan dan melakukan penelitian.

Selain hibah, JICA yang sudah ada di Indonesia sejak 1967 itu, juga menyediakan bantuan kredit lunak dan bantuan tenis. Periode 1967—2009, dana hibah yang disalurkan sebanyak 0,44 miliar Yen—23,4 miliar Yen. Sementara kredit lunak sebesar 11,3 miliar Yen—1.000 miliar Yen. “Tahun ini JICA dan Deptan akan bekerjasama dalam pengembangan budidaya mangga gedong gincu,” ungkap Makoto.

Selain itu, Jepang juga menyalurkan bantuan melalui program Counterpart Fund-Second Kennedy Round (CFSKR). Selain penguatan modal, CFSKR memberikan bantuan teknis untuk peningkatan produktivitas, mutu, dan daya saing terutama cabai, jagung, dan sapi. Tahun lalu program CFKSR berkembang di tiga provinsi, yaitu Jabar, Jateng, dan Sumut. Anggarannya mencapai Rp3,4 miliar.

Tahun ini bantuan CFSKR difokuskan untuk pengembangan benih bawang merah di tiga lokasi, NTB, Sulteng, dan Jatim. “Melalui program itu diharapkan tumbuh 30 kelompok penangkar benih bawang merah (600 petani). Sekaligus meningkatkan ketersediaan benih bermutu (bersertifikat) dari 7% menjadi 15%,” ucap Nana Laksana Ranu, Direktur Perbenihan dan Sarana Produksi, Ditjen Hortikultura.

Ahmad Dimyati, Dirjen Hortikultura, mengakui, bantuan asing telah ada sejak lama, bahkan sebelum Ditjen Hortikultura dibangun. Namun, menurutnya, nilai bantuan asing terbilang kecil, dibandingkan anggaran pengembangan hortikultura dari APBN. Meski begitu, lanjut dia, bantuan asing memberikan banyak nilai positif, seperti transfer inovasi teknologi.

Selamet R. Dadang WI, Peni SP, Enny PT, Tri Mardi, Yan S.

1 komentar: